Rekomendasi Buku & Artikel Terkait
Teman-teman Grameds bisa mengunjunggi koleksi buku Gramedia di www.gramedia.com untuk memperoleh banyak referensi tentang buku-buku pancasila. Nah, berikut ini beberapa rekomendasi buku di Gramedia yang bisa Grameds baca untuk mengenal dan memahami lebih luas tentang pancasila: Selamat belajar. #SahabatTanpabatas
Dasar Negara Pancasila
Kehidupan Setelah Penjara
Setelah bebas dari penjara, Sudharnoto harus memulai hidupnya dari awal dengan status "bekas tahanan politik" dan stigma "komunis" yang melekat pada dirinya. Tanpa ijazah pendidikan formal, Sudharnoto bekerja sebagai penyalur es batu dan supir taksi untuk mencari nafkah.
Meskipun begitu, kecintaan Sudharnoto pada dunia musik tidak pernah pudar. Pada 1978, dia beberapa kali menjadi pemain organ di restoran Shangri-La. Bahkan, ia juga dipercaya untuk menggarap ilustrasi musik pada beberapa film, seperti pada film "Kabut Sutra Ungu" (1980) yang membuatnya memenangkan Piala Citra.
Sudharnoto meninggal pada 11 Januari 2000 dan dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Karet. Lagu ciptaannya Garuda Pancasila masih dikumandangkan sampai saat ini.
Perjalanan Karier Sudharnoto
Pada 1952, Sudharnoto memulai kariernya di Radio Republik Indonesia (RRI), setelah diajak mengisi siaran oleh Maladi yang pernah menjadi gurunya. Lagu "Garuda Pancasila" diciptakan Sudharnoto saat ia bekerja di RRI pada 1956.
Selain bekerja di RRI, Sudharnoto juga menjadi pimpinan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), organisasi seniman dan budayawan yang berdiri pada 17 Agustus 1950. Lekra seringkali dikaitkan dengan komunis karena kedekatannya dengan Partai Komunis Indonesia.
Pada masa itu, kesenian dan kebudayaan menjadi salah satu alat politik yang kerap digunakan oleh partai politik untuk menarik massa, termasuk PKI, sebagaimana dikutip dari Laporan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa pada 2017.
Akibat keterlibatannya di Lekra, pada 1965, setelah peristiwa G30S/PKI, Sudharnoto dipenjara dan ditetapkan sebagai tahanan politik oleh Pemerintah Orde Baru atas dugaan penyebaran paham komunisme.
Makna Lambang Sila 1-5 Pancasila dalam Garuda Pancasila
Lambang negara tentu tidak muncul begitu saja, ada sejarah di balik kehadiran mereka yang kemudian dinobatkan sebagai lambang negara Indonesia. Dibentuknya lambang negara tersebut juga tentu tidak sembarangan, melainkan melewati proses perundingan yang panjang dan matang.
Bangsa kita perlu membentuk lambang negara setelah pengakuan kedaulatan bangsa Indonesia tahun 1949. Karena desakan itulah pada tanggal 10 Januari 195 dibentuk tim untuk merancang lambang negara Indonesia.
Tim tersebut kemudian dikenal dengan istilah Tim Lencana Negara yang dikoordinatori Zoner Poto Folio dan Sultan Hamid II. Tim tersebut kemudian memiliki beberapa anggota, yakni KI Hajar Dewantara sebagai ketua, Mohammad Natsir, RM Ng Poerbatjaraka, dan M.A Pellaupessy. Tim Lencana Negara bertugas mencari, membuat, dan menyeleksi beberapa usulan lambang negara yang kemudian akan disetujui oleh pemerintah.
Pada Januari 1950 kemudian sidang kabinet dilaksanakan dan memutuskan adanya sayembara untuk membuat lambang negara yang diumumkan oleh menteri Priyono. Dari banyaknya usulan, hanya ada dua yang terpilih dan diajukan ke pemerintahan, yakni usulan Sultan Hamid II dan Mohammad Yamin. Akhirnya usulan Sultan Hamid II lah yang terpilih karena usulan Mohammad Yamin menggunakan lambang matahari yang bisa disalah artikan sebagai lambang negara Jepang.
Usulan Sultan Hamid II kemudian melewati tahap penyempurnaan dan beberapa masukan dari Soekarno dan Mohammad Hatta pada saat itu, termasuk Partai Masyumi. Maka terciptalah bentuk Rajawali yang kemudian disebut Garuda Pancasila. Lambang Garuda Pancasila resmi disahkan pada tanggal 11 Februari 1950 sebagai lambang negara Indonesia. Lambang Garuda Pancasila kemudian pada tanggal 15 Februari 1950 dikenalkan pertama kali kepada masyarakat Indonesia di Hotel Des Indes, Jakarta.
Tak lama setelah diresmikan, Soekarno menganggap bahwa lambang burung garuda masih mirip dengan lambang eagle milik Amerika Serikat. Maka Soekarno memerintahkan pelukis bernama Dullah untuk menyempurnakan lagi lambang burung garuda tersebut agar memiliki ciri khas bagi bangsa Indonesia.
Sang pelukis pun memberikan beberapa perubahan , yakni penambahan jambul pada Garuda Pancasila dan kaki burung garuda yang sedang mencengkram sebuah pita, yang sebelumnya tampak di belakang burung maka merubah menjadi di bagian depan.
Nah, itulah sejarah bagaimana lambang Garuda Pancasila bisa disebut sebagai lambang negara Indonesia. Teman-teman Grameds bisa membaca buku koleksi Gramedia untuk mengetahui lebih banyak lagi tentang sejarah pancasila.
Pancasila sebagai dasar negara tentu memiliki makna dan nilai tersendiri bagi bangsa itulah sebabnya Grameds perlu mempelajarinya.
Nilai-niai tersebut dijadikan dasar filsafat negara serta filsafat bangsa Indonesia yang ada hingga saat ini. Pahami lebih dalam melalui buku Pancasila karya Drs. H. Mahpudin Noor.
Baca juga : Sejarah Lambang Garuda Pancasila
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa
Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat, Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan dan Perwakilan
Euforia Asian Games 2018 kemarin memang masih terngiang di benak masyarakat Indonesia.
Denpasar, NusaBaliTerlebih setelah Indonesia berhasil menduduki posisi 4 besar dibawah negara China, Jepang dan juga Korea Selatan. Bagaimana tidak senang? Ini merupakan capaian diluar target dimana Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo menargetkan Indonesia meraih peringkat 10 besar.
Namun, sungguh “lancang” para atlet Indonesia, mereka berhasil membawa Indonesia pada peringkat 4 pada acara yang sangat bergengsi di Asia tersebut setelah sebelumnya Indonesia hanya menduduki peringkat 17 pada tahun 2014 dalam Asian Games yang diselenggarakan di Korea Selatan. Tentu saja, hal ini tak lepas dari Indonesia sebagai tuan rumah pada tahun ini dimana semangat para atlet tentunya lebih terpompa saat bermain di rumah sendiri. Tak hanya dalam hal prestasi, semarak kemeriahan nya pun sudah terasa saat Opening Ceremony Asian Games (18/8) kemarin. Acara yang diadakan di Gelora Bung Karno (GBK) tempo hari menuai decak kagum tidak hanya dari dalam negeri namun juga mancanegara.Mulai dari adegan Jokowi mengendarai motor gede ketika memasuki Stadion GBK, penampilan para artis dan pertunjukan kebudayaan yang mencerminkan pada Dunia tentang bagaimana Indonesia sesungguhnya. Tidak sampai disana, para atlet pun turut bersumbangsih dalam laga yang bisa dikatakan mempersatukan masyarakat Indonesia ini.
Banyak nya medali yang diraih serta momen dipersatukannya dua tokoh politik, Jokowi dan Prabowo oleh atlet pencak silat Hanifan Yudani. Ketiganya berpelukan dalam balutan bendera Merah Putih setelah Yudani berhasil menyabet medali emas dalam partai final pencak silat. Closing Ceremony (2/9) kemarin pun tak kalah meriah. Meskipun dari skala kemewahan lebih kecil jika dibandingkan dengan Opening Ceremony, hal itu tak jadi masalah karena memang fokus daripada Closing Ceremony ialah bentuk apresiasi kepada para atlet dari setiap negara sekaligus selebrasi atas suksesnya acara Asian Games tahun 2018 ini.
Dari sederetan hal-hal menakjubkan tadi, ada satu hal menarik yang menyita perhatian saya ketika menonton Opening dan Closing Ceremony Asian Games 2018. Tentu nya ini bukan kritik ngawur ngidul seperti yang warganet katakan prihal Stuntman Jokowi maupun lip-sync para artis ketika perform di atas panggung.
Terlepas dari kritikan-kritikan tersebut, saya pribadi merasa bangga dengan apa yang telah Indonesia tunjukan kepada Dunia bahwa Indonesia adalah negara yang besar yang memiliki jutaan potensi baik sumber daya alam maupun sumber daya manusianya. Nah, hal yang menarik perhatian saya ialah lagu Garuda di Dadaku yang dikumandangkan dalam beberapa kesempatan saat Opening dan Closing Ceremony.
Saat Opening ceremony lagu tersebut dikumandangkan setelah parade kebudayaan dan ketika Closing ceremony lagu tersebut tepat di nyanyikan di akhir acara. Dalam acara apapun khususnya dalam acara olahraga, ketika lagu Garuda di Dadaku dinyanyikan saya langsung teringan akan sebuah pernyataan yang jujur saya lupa dimana saya mendengar pernyataan tersebut. Pernyataan nya seperti ini “ketika orang-orang lebih memilih menyanyikan lagu Garuda di Dadaku daripada lagu Garuda Pancasila” Sejak saat itu, kata-kata tersebut terus merasuk dalam diri saya. Benar saja, sejak mendengar pernyataan tersebut, pandangan saya ketika mendengar orang-orang menyanyikan lagu Garuda di Dadaku pun mulai bergeser. Dari yang awalnya senang menyanyikan lagu tersebut sekarang tetap senang hanya saja ada yang mengganjal di pikiran saya. Tanya saya dalam diri“benar juga ya pernyataan itu, kenapa saya tidak pernah mendengar orang-orang menyanyikan lagu Garuda Pancasila saat ada acara olahraga? Mengapa para supporter lebih sering menyanyikan lagu Garuda di Dadaku?? Padahal kan sama-sama berisi kata Garuda”Pertanyaan-pertanyaan tersebut terus menggerogoti otak saya hingga tiba saatnya Indonesia dihadapkan pada sebuah event olahraga Internasional yakni Asian Games itu sendiri. Ini mungkin merupakan momentum dimana saya bisa mencurahkan apa yang selama ini saya resahkan. Dan beruntung nya, keresahan saya benar-benar terjadi pada Asian Games 2018 ini.
Lagu Garuda di Dadaku yang dinyanyikan oleh grup band Netral ini awalnya memang dibuat untuk mengisi soundtrack film dengan judul yang sama. Bak gayung bersambut, lagu mereka pun menjadi salah satu lagu tentang nasionalisme paling fenomenal di Indonesia. Lagu Garuda di Dadaku telah mampu merangkul segenap masyarakat Indonesia untuk larut dalam sebuah rasa persatuan dan kebersamaan. Tak hanya lagu Garuda di dadaku, beberapa lagu bertema nasionalisme pun turut mengambil andil seperti Bendera (Cokelat), Kebyar-kebyar (Gombloh), Merah Putih (Tyas D) dan lain-lain. Lagu-lagu tersebut telah bermetamorfosis menjadi lagu wajib (baca: lagu nasional).
Mengapa saya menggunakan kata metamorphosis? Tentu kita mengetahui bahwa metamorphosis adalah proses perubahan dari ulat menjadi kupu-kupu pada serangga kupu-kupu. Proses ini tentunya mengubah hal yang biasa saja menjadi hal yang sangat indah terlebih sangat istimewa. Terlahir sebagai lagu biasa yang hanya ditujukan untuk merekatkan masyarakat bangsa Indonesia, kini lagu-lagu tersebut sudah bermetamorfosis menjadi lagu kebangsaan yang seolah-olah wajib dikumandangkan saat acara-acara khususnya yang bersifat olahraga di kancah Internasional. Lalu ketika lagu-lagu pop khususnya lagu Garuda di Dadaku bermetamorfosis menjadi lagu kebangsaan, lantas lagu kebangsaan seperti Garuda Pancasila berubah menjadi apa? Kalau kita lihat dari segi syair lagu, kedua nya sama-sama memiliki syair yang berisi dukungan. Seperti misal pada lagu Garuda di dadaku terdapat lirik“…Kobarkan semangatmu, tunjukan sprotivitasmu, ku yakin hari ini pasti menang…”Dan pada lagu Garuda Pancasila terdapat lirik“…Patriot Proklamasi sedia berkorban untukmu…… ayo maju, maju Ayo maju….”Dari kedua lagu yang sama-sama berjudul GARUDA tersebut, kita bisa simak bersama bahwa secara garis besar kedua lagu tersebut mengisyaratkan dukungan, harapan kepada para patriot bangsa ini. Jikalau sudah begitu, mengapa kedua nya tidak dinyanyikan saja oleh para supporter saat mendukung para pahlawan (baca: atlet) kita saat berlaga? Apakah kepopuleran lagu Garuda di Dadaku telah menggeser posisi Garuda Pancasila? Saya tidak mempermasaahkan atau menyalahkan masyarakat yang menyanyikan lagu Garuda di Dadaku. Hanya saja bukankah hal ini pantas untuk kita renungkan secara seksama? Saya pun sempat berfikir, apakah lagu yang dinyanyikan band Netral tersebut sudah dirubah statusnya menjadi lagu Nasional? Faktanya dilansir dari Sport.detik.com, lagu tersebut sempat diajukan untuk diubah statusnya menjadi lagu kebangsaan melalui pemerintah (baca: Kemenpora) namun hingga saat ini, gubrisan tersebut tiada hasilnya.
“Biarin sajalah” ungkap Netral selaku band yang membawakan lagu tersebut. Hal yang dapat saya simpulkan adalah bahwa sebelumnya pernah ada usaha untuk meng-nasional kan lagu Garuda di Dadaku karena dirasa sudah bermetamorfosis. Apakah pemerintah yang dalam hal ini Kemenpora memiliki aturan terkait syarat sebuah lagu bias menjadi lagu Nasional? hal itupun belum diketahui sampai sekarang. Sebelum kita menuju pada sebuah titik terang dimana pertanyaan saya ini menemukan jawabannya, adakah dari pembaca sekalian yang mau membantu saya untuk menjawab bagaimanakah seharusnya lagu-lagu kebangsaan, wajib atau nasional ini agar tetap eksis di hati masyarakat khususnya kawula muda saat event-event besar keolahragaan maupun event yang bersifat mengharumkan nama bangsa berlangsung? Secara pribadi menurut saya, lagu-lagu wajib nasional seolah punah dikarenakan kita sudah jarang menggunakan (baca: menyanyikan) mereka lagi pada event-event dimana semestinya mereka dikumandangkan. *
*. Tulisan dalam kategori OPINI adalah tulisan warga Net. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Ahmad Dhani adalah seorang musisi berkebangsaan Indonesia yang telah menciptakan lebih dari 200 lagu sepanjang kariernya di industri musik, baik secara solo ataupun kolaborasi dengan pencipta lagu lain. Dhani pertama kali menciptakan lagu dengan judul "Janji" pada saat di bangku SMA, namun tidak pernah dirilis secara komersial.[1] Lagu ciptaan Dhani yang pertama kali dirilis sebagai singel adalah "Kangen" dari album pertama grup bandnya Dewa 19 pada tahun 1992. Dhani menciptakan sendirian sebagian besar lagu-lagu Dewa 19 yang sudah meluncurkan delapan album studio utuh sepanjang dekade 1990-an dan 2000-an. Pada beberapa lagu Dewa 19, Dhani turut dibantu oleh rekan sesama anggota band dalam penciptaannya, seperti bersama gitaris Andra Ramadhan pada lagu "Satu Hati (Kita Semestinya)"; "Aku Disini Untukmu" (bersama Wong Aksan); dan "Separuh Nafas", ataupun bersama basis Erwin Prasetya pada lagu "Kirana" dan "Kamulah Satu-Satunya".
Artis pertama di luar Dewa 19 yang menyanyikan lagu ciptaan Dhani adalah Reza Artamevia. Dhani menciptakan dan memproduseri seluruh materi pada dua album pertama Reza, yaitu Keajaiban (1997) dan Keabadian (2000). Dhani yang terbiasa menciptakan lagu-lagu rock untuk Dewa 19, membuktikan ragam kemampuannya pada lagu-lagu Reza yang merupakan solois wanita bergenre R&B. Keajaiban memenangkan penghargaan Album R&B Terbaik pada Anugerah Musik Indonesia 1998. Setelah kesuksesannya dengan Reza, menjelang akhir dekade 1990-an Dhani juga turut menciptakan lagu untuk Anang Hermansyah—baik untuk album solonya ("Kamu Sama Aku Saja" dan "Serindu") ataupun duet dengan Krisdayanti ("Demi Cinta")—Once Mekel ("Anggun"), Tere ("Sendiri"), dan Atiek CB ("Aku Jadi Aku").
Memasuki era 2000-an, Dhani memproduseri seluruh materi pada album Denada berjudul Awal Baru dan menyumbangkan empat lagu ciptaannya. Dhani juga menciptakan dua lagu untuk album pertama Agnes Monica berjudul And the Story Goes (2003); dua lagu untuk album solo kedua Ari Lasso berjudul Keseimbangan (2003); dan tiga lagu untuk album kedua Ratu berjudul No. Satu (2006). Pada pertengahan dekade 2000-an, Dhani mendirikan Republik Cinta Management yang beranggotakan penyanyi seperti Mulan Jameela, Dewi Dewi, MahaDewi, Dewi Perssik, Lucky Laki, yang merekam lagu-lagu baru dari Dhani. Artis lainnya yang pernah menyanyikan lagu-lagu ciptaan Dhani yakni Chrisye, Indah Dewi Pertiwi, dan Regina Ivanova.
Berikut adalah lagu-lagu yang telah dirilis dari Ahmad Dhani, baik yang ia ciptakan sendirian maupun yang dibantu oleh musisi lain (co-write). Lagu-lagu ciptaan Dhani telah banyak dikover atau direkam ulang, sehingga untuk simplifikasi, hanya penyanyi yang merekam pertama kali yang dicantumkan pada daftar ini.
Siapa tidak kenal dengan lagu Garuda Pancasila? Lagu ini kerap dinyanyikan di sekolah maupun saat perayaan hari besar tanah air. Namun, siapa sebenarnya pencipta lagu Garuda Pancasila?
Pencipta lagu Garuda Pancasila adalah Sudharnoto. Nama ini jarang terdengar dan dikenalkan di sekolah-sekolah karena diduga terkait perannya sebagai salah satu pimpinan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), yakni organisasi yang dekat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Namun, tak bisa dipungkiri bahwa sejarah telah mencatat bahwa Sudharnoto adalah pencipta lagu kebangsaan Indonesia, yang dinyanyikan dari generasi ke generasi sampai saat ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Remaja Lebih Suka Garuda di Dadaku dari Garuda Pancasila
Senin, 8 Agustus 2016 - 06:01 WIB
VIVA.co.id - Kalangan muda Indonesia masa kini, dianggap mulai mengacuhkan lambang-lambang negara. Salah satu indikatornya, ialah berpalingnya muda-mudi dari lagu kebangsaan seperti Garuda Pancasila. Mereka lebih senang menyanyikan lagu Garuda di Dadaku karya grup band Netral.
Tergeruskah nasionalisme bangsa?
Pertanyaan itu muncul dalam diskusi tentang nasionalisme yang diselenggarakan Ikatan Alumni Resimen Mahasiswa Indonesia (IARMI) Jawa Timur di kampus Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Surabaya (Stiesa) pada Minggu malam, 7 Agustus 2016.
Pengelola Sekolah Kebangsaan Tjokroaminoto, Joko Susanto menilai, generasi masa kini memiliki alamnya sendiri yang berbeda dengan generasi terdahulu. Revolusi informasi berpengaruh besar pada pola pikir dan tindak muda-muda Indonesia.
Kendati begitu, kata pengajar di Universitas Airlangga (Unair) Surabaya itu, bukan berarti nasionalisme di jiwa remaja Indonesia tidak ada. "Betul mereka jarang menyanyikan lagu Garuda Pancasila, tetapi mata mereka juga terlihat berkaca-kaca ketika menyanyikan lagu Garuda di Dadaku," ujar Joko.
Menurutnya, diperlukan pendekatan berbeda untuk menghunjamkan ruh kebangsaan kepada remaja masa kini. Tidak lagi, dengan cara seperti di era Orde Lama dan Orde Baru.
"Bukan saya tidak sepakat dengan program bela negara secara militer, tetapi mereka harus didekati dengan cara kreatif, yang membuka ruang bagi mereka mengekspresikan kecintaannya pada negara ini," kata Joko.
Wakil Asisten Teritorial Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) Brigadir Jenderal TNI Gatot Triswanto, kembali mengingatkan kepada semua kalangan masyarakat tentang hal yang disampaikan Panglima TNI Gatot Nurmantyo soal perang non-militeristik, yakni proxy war.
Perang jenis baru itu, katanya, lebih berbahaya daripada perang konvensional, yakni dengan merusak generasi bangsa, sehingga pada saatnya akan terjadi keterputusan generasi, atau lost generations. Mental dan kualitas generasi dirusak dengan narkotik dan asupan informasi yang jauh dari jati diri bangsa.
Karena itu, Gatot menegaskan bahwa perlu pengawalan nilai-nilai kebangsaan kepada siswa dan mahasiswa. “Misalnya, saat mereka mengikuti masa pengenalan sekolah, atau kampus. TNI sendiri sifatnya hanya mendampingi," katanya. (asp)
Kendati begitu, kata pengajar di Universitas Airlangga (Unair) Surabaya itu, bukan berarti nasionalisme di jiwa remaja Indonesia tidak ada. "Betul mereka jarang menyanyikan lagu Garuda Pancasila, tetapi mata mereka juga terlihat berkaca-kaca ketika menyanyikan lagu Garuda di Dadaku," ujar Joko.
Makna Lambang Sila Kedua (Rantai)
Di bagian kanan bawah pada perisai garuda ada lambang rantai dengan dua bentuk, yakni rantai berbentuk lingkaran dan rantai berbentuk persegi. Rantai berwarna kuning keemasan tersebut memiliki makna sebagai berikut:
Makna Lambang Sila Ke-Tiga (Pohon Beringin)
Di bagian kanan atas perisai garuda ada lambang pohon beringin dengan warna hijau pada daunnya dan coklat pada batangnya memiliki makna sebagai berikut: